Posted by: deddyek | May 22, 2013

Wisata Malang-Batu-Bromo (Bagian-1) : Berkereta Menuju Malang

Alhamdulillah, puji syukur hanya kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang selalu memberikan karunia yang tak terhingga kepada kami sekeluarga. Perjalanan kami berdua ke kota Malang kali ini tidak akan terwujud tanpa karunia-Nya berupa rizqi dan kesehatan.

Ada tiga kota di Pulau Jawa ini yang kami paling ingin singgahi untuk jalan-jalan yaitu Jogja, Bandung dan Malang.

Dua tahun lalu tepatnya di bulan April, Jogja menjadi pilihan kami untuk menikmati masa-masa awal pernikahan. Itulah perjalanan pertama kami sebagai sepasang kekasih .. πŸ™‚ ..

Setahun kemudian di bulan Mei, kami berkesempatan untuk menikmati kebersamaan di kota kembang Bandung.

Dan kali ini, kota Malang dan sekitarnya menjadi saksi kebersamaan kami melalui dua tahun usia ikatan suci kami. Bukan bermaksud untuk merayakan, namun hanya bertepatan saja dengan liburan akhir pekan yang tiba serta tercukupinya dana .. πŸ™‚ ..

Perjalanan ke Malang, sudah cukup lama menjadi rencana kami berdua. Rehat sejenak dari kesibukan dan kepenatan untuk menikmati kebersamaan bersama serta memupuk rasa cinta yang selama ini terpisahkan oleh habisnya waktu yang ada akibat tersita oleh aktifitas kerja.

08 Mei 2013, hari H untuk memulai perjalananpun tiba. Semua keperluan selama perjalanan mulai dari pakaian hingga obat-obatanpun telah siap dan di-packing dengan rapi di tas. Tak ketinggalan pula dua set pakaian hangat untuk ke Bromo nanti mulai dari jacket, topi, syal, masker hingga sarung tangan. Semua itu telah disiapkan dengan teliti oleh istri tercinta.

Stasiun Jakarta Kota menjadi tempat pertemuan kami berdua. Dari Cilebut, istri menggunakan Commuter Line Rute Bogor-Kota. Sedangkan aku sendiri berangkat dari kantor menuju Stasiun Duren Kalibata kemudian meneruskan ke Stasiun Jakarta Kota dengan Commuter Line.

Kami sengaja memilih bertemu Stasiun Jakarta Kota daripada Gambir karena di sanalah kereta Gajayana yang akan membawa kami ke Malang memulai perjalanannya. Dan semenjak Commuter Line tidak berhenti di Gambir, perjalanan ke luar kota begitu merepotkan. Naik turun di Stasiun sebelum/setelah Gambir sambil membawa barang bawaan kemudian menaiki Bus, Bajaj atau Ojek, sungguh tidak praktis sama kali.

Tak semua KA kelas eksekutif, ngetem di Stasiun Jakarta Kota. KA Gajayana adalah sedikit pengecualiannya. Jadi, bagi mereka yang hendak menggunakan KA Gajayana, naik dari Stasiun Jakarta Kota menjadi pilihan yang bijak.

Pukul 17:20 kami bertemu di Stasiun Jakarta Kota. Wajah ceria sang istri, hadir menyambut diriku yang turun dari Commuter Line. Dan KA Gajayana, terlihat tengah menunggu di jalur sebelah.

Menuju pos pemeriksaan tiket adalah hal yang kami lakukan berikutnya. Tiket dan KTP dari masing-masing kami diperiksa oleh petugas untuk selanjutnya dibubuhi stempel.

Karena masih cukup waktu sebelum kereta berangkat, kami putuskan untuk makan terlebih dahulu. Untuk urusan mengisi perut, Stasiun Jakarta Kota menyediakan cukup banyak pilihan. Lebih variatif dari menu di kereta .. πŸ™‚ ..

Sebuah resto cepat saji menjadi pilihan kami untuk menghabiskan waktu kemudian dilanjut dengan membeli minuman dan snack di minimarket terdekat.

Sepuluh menit sebelum keberangkatan kami melangkah memasuki peron. Beberapa pintu gerbong KA Gajayana sudah mulai dibuka. Deru mesin lokomotifpun telah terdengar, mengisyaratkan kian dekatnya keberangkatan.

Singkat kisah, kami telah berada di dalam gerbong KA Gajayana. Begini nih enaknya kalau naik dari Stasiun Jakarta Kota. Hanya satu dua penumpang saja yang naik, jadi kami bisa bebas menata barang bawaan di lemari bagasi.

Gerbong KA Gajayana ini diproduksi oleh INKA dan secara umum fasilitasnya cukup memadai.

Pukul 18:00, KA Gajayana perlahanan bergerak meninggalkan Stasiun Jakarta Kota menuju Gambir. Sesampai di Gambir, suasana tenang berubah menjadi riuh. Meski masing-masing telah memiliki tiket dan nomor tempat duduk, para penumpang masih saja berdesakan untuk memasuki gerbong. Ruang penyimpanan bagasi yang tadinya kosong, segera menjadi penuh oleh bawaan para penumpang. Tas koper, rangsel hingga tas gunung memenuhi kabin bagasi kereta.

Tak ada satupun kursi yang kosong petang itu. Iya, meskipun hari jumat bukanlah hari libur, tapi tetap saja banyak yang pergi keluar kota. Tentu saja dengan mengambil cuti di tempat kerjanya. Termasuk diriku ini hehehe.

Untuk akhir pekan yang panjang ini, tiket KA Gajayana dijual di atas harga normalnya. Untuk perjalanan dari Jakarta ke Malang, kami dikenakan tarif Rp. 400,000 per orang, sedangkan dari Malang ke Jakarta kami mendapat lebih murah Rp. 380,000 per orang. Tiket itu kami beli 30 hari sebelum hari keberangkatan. Kurang dari itu, tak ada tiket tersisa.

Pukul 18:20, KA Gajayana memulai perjalanannya dari Gambir. Perlahan-lahan melewati satu per satu stasiun. Semakin perlahan dan hingga berhenti sebelum Manggarai. Gangguan Commuter Line ternyata menghambat KA Gajayana untuk keluar dari Jakarta. Yang benar saja, sudah lewat jam 19:30, kereta masih belum melewati Manggarai. Begitu pikir kami.

Ya sudahlah .. kami nikmati saja perjalanan ini. Selepas sholat maghrib yang kami jamak dengan isya, kami mulai menyelonjorkan kaki. Istirahat adalah pilihan yang bijak supaya badan tetap fit sesampai di Malang nanti. Maklum lebih dari 14 jam waktu yang akan ditempuh kereta ini untuk sampai di tujuan.

Akhirnya kereta mulai melaju meninggalkan Jakarta. Melaju menembus malam yang mulai menyelimuti ibukota. Kami yang ada di dalam, perlahan-lahan mulai dihinggapi kantuk yang mendera.

Hilir mudik para pramugara-pramugari kereta yang menawarkan makanan dan minuman tak menarik perhatian kami. Kecuali selembar selimut yang dibagikan untuk menemani lelap di perjalanan.

Terlelap, terbangun, terlelap, terbangun, begitulah siklus tidur di dalam perjalanan jauh berkereta. Air putih dan beberapa makanan ringan, menjadi pengisi perut yang mulai bergejolak untuk kemudian terlelap kembali.

Teriakan keras membangunkan kami dari lelapnya tidur. “Pop Mie, Pop Mie, Kopi Susu, Kopi Susu, Getuk Goreng, Getuk Goreng”. Begitulah yang terdengar di telinga kami. Kami melihat keluar dari jendela, sudah sampai manakah kami berada. Oh .. Stasiun Purwokerto.

Kamipun lantas beranjak menuju bordes untuk membeli minuman hangat. Segelas white-coffe hangat seharga Rp. 3,000 kami bawa ke tempat duduk kami. Segelas berdua kami menyeruput hangatnya. Cukuplah untuk menghangatkan badan dan melanjutkan mimpi.

KA Gajayana terus melaju. Stasiun Kroya, Jogja, Solo dan Ngawi sudah terlalui tanpa kami sadari. Hingga kembali kami terbangun karena teriakan suara penjual makanan/minuman. Kami kembali melihat keluar dari jendela. Nampaknya kami telah sampai di Stasiun Madiun.

Tapi kali ini berbeda. Kami mendengar suara “nasi pecel, nasi pecel”. Hmmmm … Pecel Madiun, begitu gumam kami.

Dini hari gini tatkala perut lapar, menikmati sebungkus nasi pecel hangat nampaknya enak. Begitu pikir kami. Dan tanpa pikir panjang, kamipun melangkah ke bordes. Pintu gerbong kereta telah terbuka dan nampak di sana beberapa penjual makanan dan minuman.

Dua bungkus nasi pecel dan segelas kopi susu, kami beli dari mereka. Sudah terbayang di pikiran kami, betapa nikmatnya makan malam kami ini. πŸ™‚ ..

Tak lama kemudian, keretapun kembali bergerak menuju pemberhentian berikutnya. Bersamaan dengan itu, kamipun mulai membuka bungkus nasi pecel tersebut. Sekepal nasi putih, beberapa rebusan sayur, secuil tempe dan kripik menjadi isinya. Sedangkan sambalnya dibungkus dalam plastik terpisang.

Uhh .. bayangan kami akan nikmatnya nasi pecel bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan. Ternyata sambalnya sudah basi. Sudah satu sendok setidaknya yang masuk ke dalam perut. Yah, terpaksalah kami membuangnya. Lalu kami minum air putih banyak-banyak.

Sebuah pelajaran lagi bagi kami, untuk hati-hati dalam membeli makanan di dalam perjalanan.

Kenyanglah kami dengan air putih hingga membawa kami kembali terlelap.

Pukul 04:30 pagi, kami terbangun oleh dinginnya AC kereta. Bergantian kami beranjak dari tempat duduk lalu menuju toilet untuk berwudlu. Selanjutnya sholat subuh kami tunaikan pagi itu.

Selimut malam perlahan berganti fajar. Langit perlahan-lahan kian terang. Stasiun Nganjuk, Kertosono, Kediri, Tulungagung dan Blitarpun telah terlewati.

Pekatnya malam telah berganti pagi. Panorama di luar jendela yang sebelumnya gelap berubah menjadi indah berupa pemandangan pesawahan hijau di Jawa Timur yang luas terhampar. Kehidupan pedesaan nan damai bersahaja terlihat jelas di sana. Beberapa petani nampak mulai menapaki pematang-pematang sawah. Sedangkan tanaman padi terlihat mulai menebal hingga memenuhi lahan. Semua itu tersaji bak putaran film yang dihadirkan melalui jendela-jendela kereta.

Satu per satu penumpang turun di pemberhentian hingga tinggal sekitar 2/3 jumlah penumpang yang tersisa. Kota tujuan Malang sudah kian dekat.

Stasiun Wlingi dan Kepanjen telah lewat seiring panas matahari yang mulai menembus jendela-jendela kereta. Entah mengapa, kian lama kecepatan kereta kian melambat. Sementara keinginan berharap cepat segera sampai di tujuan.

Pagi yang penuh semangat terlihat pada para pramugara-pramugari kereta yang tak bosan-bosannya menawarkan sarapan pagi dan minuman hangat. Kegagalan makan dini hari tadi masih terasa efeknya berupa perut yang terus keroncongan. Dan dua piring nasi goreng akhirnya hadir dihadapan kami. Nasi goreng khas buatan restorasi kereta api luar kota. Rp. 25,000 per porsi untuk nasi goreng dan Rp. 10,000 per cup untuk kopi susu adalah harga yang mesti dibayarkan. Lumayanlah untuk sarapan pagi.

Kereta telah sampai di Stasiun Malang Kota Lama. Jumlah penumpangpun kian berkurang. Waktu sudah menunjukkan pukul 10:30 sedangkan jadwalnya pukul 09:15. Waduh .. lumayan juga keterlambatannya.

KA Gajayana akhirnya sampai di pemberhentian terakhir yaitu Stasiun Malang Kota Baru. Alhamdulillah .. setelah melalui hampir 17 jam perjalanan, sampailah kami dengan selamat di Kota Malang.

Setelah menurunkan bagasi, satu persatu penumpang turun dari kereta. Termasuk pula kami.

Bersama penumpang lain kami selanjutnya menyusuri peron hingga menuju pintu keluar.

Sebagaimana stasiun-stasiun lainnya, sambutan terhadap para penumpang begitu semarak. Keramahan dari para tukang becak, sopir angkot, sopir carteran hingga sopir taksi terlihat jelas di sana. Masing-masing dari mereka berusaha untuk menawarkan jasa pengantaran ke tempat tujuan.

Kerumunan orang yang begitu banyak sedikit membuat pusing kami. Lantas, kami berusaha untuk mencari tempat yang agak tenang supaya kami bisa menentukan transportasi ke tujuan kami berikutnya, yaitu kota Batu.

Beberapa sopir mobil carteran menawari kami Rp. 90,000 sampai lokasi. Begitu juga dengan sopir taksi tembakan. Ada yang termurah yaitu Rp. 60,000. Sudah sampai hotel di Batu lagi. Kamipun antusias untuk menanggapinya. Eh.. tahunya transportasinya dengan menggunakan angkot. Waduh ..

Setelah tanya sana sini, akhirnya kami mendapatkan taksi Citra yang tengah mangkal di sisi kanan dari pintu keluar Stasiun. Dengan ramahnya sopir taksi tersebut menyambut kami serta membantu untuk membawa barang bawaan kami ke taksinya. Alhamdulillah .. akhirnya dapat taksi juga.

Dan cerita kemudian, melajulah taksi tersebut menuju Kota Wisata Batu, daerah di mana dua hari satu malam nanti kami akan berada di sana.

====================================================
photo by : deddy
====================================================

bersambung …


Responses

  1. gimna ke bromo

  2. Pengalaman yang sungguh tidak terlupakan bisa mengunjungi berbagai kota wisata yang menjadi idaman hampir semua orang,

  3. salah satu wisata favorit jawa timur, huhu

  4. Mau tahu berapa harga paket Kereta JKT MALANG BATU BROMO PP ?

  5. Malang seolah tak pernah lekang dari incaran para wisatawan saat musim liburan datang, juga memiliki banyak sekali spot nongki yang cozy abis :))

  6. Keren nih,,bisa jadi alternatif bagi yang akan berkunjung ke Malang.

  7. […] Download Image More @ 2dheart.wordpress.com […]

  8. […] Download Image More @ 2dheart.wordpress.com […]


Leave a comment

Categories